LAPORAN indeks Hak Asasi Manusia atau HAM yang dirilis SETARA Institute kembali mencatatkan indikator hak kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai indikator dengan capaian skor paling rendah dari 11 indikator pemenuhan HAM.
Peneliti SETARA Institute Sayyidatul Insiyah menjelaskan rendahnya perolehan skor indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam indeks HAM 2025 dipengaruhi oleh masih masifnya represi terhadap aksi massa, kekerasan jurnalis, kriminalisasi berbasis UU ITE.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Hingga intervensi terhadap kebebasan akademik yang menjadi wujud pembatasan ekspresi kritik masyarakat sipil,” kata Sadiyyatul dalam rilis laporan indeks HAM 2025 di bilangan Jakarta Selatan pada Rabu, 10 Desember 2025.
Dia menuturkan, hasil studi Aliansi Jurnalis Independen atau AJI pada Maret 2025 misalnya, menyebutkan 75,1 persen dari 2.020 jurnalis Indonesia pernah mengalami kekerasan, baik berupa fisik maupun serangan digital.
Data AJI terkait kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 1 Januari hingga 10 Desember 2025 juga mencatatkan sebanyak 82 kasus kekerasan terjadi kepada jurnalis. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencatatkan kasus kekerasan jurnalis sebanyak 73 kasus.
Lalu, Sayyidatul melanjutkan, data Amnesty International Indonesia sepanjang Januari 2018 hingga Juli 2025 juga mencatat ada 710 kasus kriminalisasi yang menggunakan pasal-pasal ujaran kebencian dan pencemaran nama baik dalam UU ITE.
Contoh lain yang turut mempengaruhi rendahnya skor indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat, ialah pembatalan kegiatan bedah buku bertajuk “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiya” oleh IAIN Manado pada Juni 2025, hingga intimidasi terhadap band Sukatani.
“Capaian skor pada indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat mengindikasikan rendahnya kualitas freedom of expression sekaligus masifnya upaya pengkerdilan ruang-ruang sipil,” ujar Sadiyyatul.
Adapun, dari 11 indikator HAM, kebebasan berekpresi dan berpendapat hanya memperoleh skor 1,0 dalam laporan indeks yang menggunakan skala penilaian dengan angka 1 sampai 7. Angka 1 menunjukan skala pemenuhan yang rendah dan angka 7 menunjukan pemenuhan yang tinggi.
Sedangkan indikator yang memperoleh skor paling tinggi, ialah hak atas pendidikan yang menorehkan skor 4,3. Lalu, hak atas rasa aman serta kebebasan beragama dan berkeyakinan memperoleh skor tertinggi, yakni 3,2.
Hak hidup dan hak memperoleh keadilan memperoleh skor 3,1; serta hak turut serta dalam pemerintahan memperoleh skor 3,0; hak atas kesehatan 3,6; hak atas pekerjaan 3,4; dan hak atas budaya 3,2.
“Sedangkan hak atas tanah menjadi indikator terendah dalam bidang hak ekonomi, sosial, dan budaya dengan skor 1,6,” ucap Sayyidatul.






