KOALISI Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, mengkritik keras pengesahan Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menjadi Undang-Undang pada sidang paripurna DPR hari ini.
Perwakilan Koalisi, Iqbal Muharam Nurfahmi, mengatakan pengesahan RUU KUHAP merupakan bentuk pembangkangan pembentuk UU terhadap agenda reformasi Polri. Sebab, dalam RUU ini Polri memikiki kewenangan yang amat luas.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Pengesahan RUU KUHAP adalah bentuk kemunduran reformasi hukum di Indonesia,” kata Iqbal di Gerbang Pancasila DPR pada Selasa, 18 November 2025.
Berdasarkan catatan Koalisi, terdapat sejumlah Pasal bermasalah dalam RUU KUHAP seperti di Pasal 5, 7, 8, 16, 74, 90, 93, 105, 112A, 124, 132A, dan 137. Pasal tersebut, kata Iqbal, memberikan kewenangan yang amat luas bagi Polri dalam menangani perkara tindak pidana.
Misalnya, Pasal 16 ayat (1) yang mengatur soal tata cara penyelidikan dapat dilakukan dengan olah TKP, pengamatan, wawancara, pembuntutan, penyamaran, pembelian terselubung, penyerahan di bawah pengawasan, pelacakan, hingga mendatangi atau mengundang untuk memperoleh keterangan.
Masalahnya, dalam RUU KUHAP operasi pembelian terselubung dan pengiriman di bawah pengawasan dalam upaya penyelidikan yang sebelumnya menjadi kewenangan tahap penyidikan dapat dilakukan pada operasi tindak pidana umum, tak lagi khusus seperti perkara narkotika.
Kewenangan ini, Iqbal melanjutkan, menjadikan metode penyelidikan tak memiliki batasan dan dapat dilakukan tanpa adanya pengawasan dari hakim.
“Ini berpotensi membuka peluang penjebakan oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan tindak pidana dan merekayasa siapa pelakunya, yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana,” ujar dia.
Ketentuan Pasal 5 ayat (2) dalam RUU KUHAP yang mengatur tentang penangkapan menyebutjan penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, hingga penahanan.
Dalam kesempatan yang sama, pengacara publik LBH Jakarta, Daniel Winarta, mengatakan ketentuan Pasal tersebut berpotensi menjerat seluruh kalangan, mengingat tindakan penangkapan dapat dilakukan aparat penegak hukum pada tahap penyelidikan atau pada saat belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana.
Padahal, kata dia, dalam Pasal 5 KUHAP existing penangkapan pada tahap penyelidikan dapat dilakukan dengan kewenangan yang sangat terbatas, atau bahjan tidak sama sekali diperbolehkan untuk menahan seseorang.
“Harusnya RUU KUHAP bisa mencari titik seimbang antara penegakan hukum dan HAM. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya,” ujar Daniel.
“Namun dalam Pasal 5 RUU KUHAP, pada tahap penyelidikan, dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan bahkan penahanan, padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi,” kata koalisi
Adapun, di tengah kritik dan gelombang penolakan, DPR dan pemerintah berkukuh mengesahkan RUU KUHAP menjadi UU. Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengklaim, KUHAP yang baru ditujukan untuk memperkuat posisi warga negara, termasuk kelompok rentan dalam hukum.
Ia juga mengklaim, dalam pembahasannya Komisi III DPR dan pemerintah telah memenuhi prinsip partisipasi bermakna, yaitu dengan mendengarkan masukan-masukan dari pelbagai unsur, termasuk Koalisi.
“Tetapi, tidak semua masukan dapat diakomodasi. Inilah realitas parlemen,” ujar politikus Partai Gerindra itu.






