Dua Jalur Pengiriman Pasukan ke Gaza Dinilai Sama-sama Berisiko

RENCANA pemerintah mengirim 20 ribu pasukan perdamaian Indonesia ke Gaza, Palestina, dinilai sarat tantangan dan berisiko tinggi. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin sebelumnya menjelaskan pemerintah memiliki dua jalur untuk mendapatkan restu sebelum mengirim pasukan ke wilayah tersebut.

Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca

“Ada dua alternatif, pertama adalah di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Alternatif kedua, yakni di bawah persetujuan organisasi internasional yang diinisiasikan oleh Presiden Amerika Serikat,” ujar Sjafrie di kantor Kementerian Pertahanan, Jumat, 14 November 2025, sebagaimana dikutip dari Antara.

Isu ini kembali menyeruak usai kunjungan salah satu negara timur tengah, Yordania ke Indonesia. Presiden Prabowo Subianto menerima Raja Kerajaan Yordania Hasyimiah, Raja Abdullah II ibn Al Hussein, setelah tiba di Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Jumat, 14 November 2025.

Pengamat Timur Tengah, Smith Alhadar, menilai kedua jalur tersebut tidak menjamin keselamatan dan efektivitas pasukan Indonesia. Ia menyebut situasi politik dan keamanan Palestina–Israel saat ini tidak kondusif bagi kehadiran pasukan asing, termasuk pasukan perdamaian.

Ia mengingatkan Israel berulang kali mengabaikan kesepakatan gencatan senjata dan tetap melakukan serangan, termasuk di bawah keberadaan pasukan PBB. “Kalau itu peacekeeping force di bawah PBB, mestinya lebih aman. Tapi melihat rekam jejak Israel di Lebanon Selatan, itu pun tidak menjamin,” kata Smith saat dihubungi, Sabtu, 15 November 2025.

Smith mengatakan Israel justru kemungkinan lebih mendorong opsi kedua, yakni pengiriman pasukan dalam skema Gaza Stabilization Force. Namun opsi ini menempatkan Indonesia dalam risiko besar karena pasukan stabilisasi memiliki otoritas menggunakan senjata terhadap pihak yang dianggap mengganggu stabilitas. 

“Ini bisa membuat Indonesia berkonfrontasi langsung dengan Hamas atau kelompok bersenjata lain di Gaza,” ujar dia. 

Menurut dia, seluruh faksi Palestina—termasuk Hamas dan Fatah—telah menyatakan menolak demiliterisasi dan perlucutan senjata. Kondisi itu membuat setiap pasukan stabilisasi berpotensi berhadapan dengan kelompok-kelompok tersebut. “Kalau Indonesia tidak bertindak, akan ditekan Amerika Serikat. Kalau bertindak, kita akan tampak seperti proksi Israel,” kata Smith.

Selain risiko diplomatik, Smith menilai urgensi pengiriman pasukan dengan spesialisasi kesehatan dan konstruksi tidak terpenuhi dalam situasi keamanan yang masih sangat labil. Pasukan dengan mandat kemanusiaan, kata dia, tetap tidak akan dapat bekerja jika Israel dan Hamas belum mencapai kesepakatan mengenai perlucutan senjata dan gencatan senjata yang stabil.

Smith menilai pengiriman pasukan pada saat ini dapat berbalik merugikan Indonesia, baik secara politik maupun keamanan. “Keadaan Gaza sangat tidak stabil. Mengirim pasukan sekarang sama saja menempatkan Indonesia di tengah konflik bersenjata yang belum selesai,” kata dia. 

Prabowo sebelumnya mengatakan bersedia mengerahkan 20.000 putra dan putri Tanah Air untuk ikut membantu mengamankan perdamaian di wilayah Gaza, Palestina. Hal itu ia sampaikan saat berpidato dalam Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat pada Selasa, 23 September 2025.

  • Related Posts

    Anggota DPRD DKI Kenneth: Taman di Jakarta Harus Bebas Dari Prostitusi!

    Jakarta – Dugaan adanya praktik prostitusi di area Taman Daan Mogot, mendapat sorotan tajam dari Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth. Kenneth menilai kasus tersebut merupakan…

    Menkes Ancam Cabut Izin Praktik Dokter Spesialis yang Dibiayai Pemerintah

    MENTERI Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengancam mencabut izin praktik dokter spesialis yang dapat bantuan dari pemerintah jika tidak kembali bertugas ke daerah asal. Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca Pernyataan…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *