KETUA Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah menyoroti lemahnya pengawasan di lingkungan sekolah setelah terjadinya ledakan di SMA 72 Jakarta, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara, pada Jumat, 7 November 2025. Margaret mengatakan, peristiwa ini menunjukkan satuan pendidikan masih kecolongan dalam memantau barang-barang yang dibawa siswa.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Ini kan menjadi perhatian di pihak satuan pendidikan ya, kok bisa benda-benda yang kayak begitu ini lolos masuk di sekolah. Maka tentu ini menjadi tantangan di satuan pendidikan terkait dengan pengawasan terhadap barang-barang yang dibawa anak,” ujar Margaret kepada wartawan usai menjenguk korban di RS Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat malam, 7 November 2025.
Margaret menegaskan sekolah memiliki kewajiban melindungi anak-anak selama berada di lingkungan pendidikan, termasuk memastikan keamanan dan keselamatan mereka. “Di sekolah, anak-anak harusnya mendapatkan perlindungan, keamanan, dan keselamatan. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah bersama,” katanya.
KPAI juga mendukung langkah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang berencana melakukan rehabilitasi sekolah pasca-ledakan serta menyediakan pendampingan psikologis bagi siswa.
Menurut Margaret, banyak anak yang mengalami trauma akibat insiden ini, baik yang terluka maupun yang hanya menyaksikan kejadian. “Semua anak, baik yang mengalami luka atau tidak, pasti membutuhkan pendampingan psikologis. Trauma healing harus dilakukan oleh psikolog yang tersertifikasi,” ujarnya.
Margaret menyebut, berdasarkan data sementara, 37 anak menjadi korban, dengan sekitar tujuh di antaranya harus menjalani operasi akibat luka di bagian kepala, rahang, kaki, atau telinga. “Ada yang kukunya harus diambil, ada yang mengalami gangguan pendengaran. Ini menunjukkan dampaknya cukup serius,” katanya.
Lebih jauh, KPAI juga menyoroti dugaan bahwa pelaku ledakan merupakan siswa berusia 17 tahun. Margaret meminta semua pihak berhati-hati dan menunggu hasil penyelidikan polisi. Namun, ia mengingatkan anak yang menjadi pelaku tetap harus diperlakukan sesuai prinsip perlindungan anak. “Kita punya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Prinsip kepentingan terbaik bagi anak harus dikedepankan,” ujarnya.
KPAI mengimbau orang tua dan sekolah untuk lebih waspada terhadap perilaku anak, termasuk aktivitas mereka di media sosial. “Bisa jadi anak terpapar radikalisme atau kekerasan dari media sosial. Ini menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya sekolah, tapi juga keluarga dan masyarakat,” kata Margaret.






