Pokir dan harapan baru demokrasi lokal

Artikel

Pokir dan harapan baru demokrasi lokal

  • Oleh Abdul Hakim
  • Minggu, 7 September 2025 07:22 WIB
  • waktu baca 6 menit
Pokir dan harapan baru demokrasi lokal
Sejumlah petugas berada di gedung DPRD NTB pascaterbakar di Mataram, NTB, Senin (1/9/2025). Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaeda mengungkapkan rencananya untuk membangun tenda darurat untuk berkegiatan dan bekerja sekretariat dan anggota DPRD di halaman DPRD NTB pasca-terbakarnya dua gedung dewan saat unjuk rasa Sabtu (30/8/2025). (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/YU)

Mataram (ANTARA) – Demokrasi selalu menjanjikan ruang bagi rakyat untuk bersuara dan berpartisipasi dalam menentukan arah pembangunan. Di atas fondasi itulah lembaga perwakilan rakyat dibangun, dengan harapan setiap aspirasi warga dapat menemukan jalannya menuju kebijakan publik.

Namun dalam praktiknya, demokrasi tidak jarang dihadapkan pada paradoks. Saluran aspirasi yang seharusnya menyejukkan justru memantik kekecewaan, bahkan ledakan sosial. Ketika suara rakyat tersumbat, ketika transparansi melemah, maka jurang ketidakpercayaan antara publik dan wakilnya kian menganga.

Gambaran paradoks itu nyata terlihat di Nusa Tenggara Barat. Peristiwa pembakaran Gedung DPRD NTB pada akhir Agustus lalu bukan hanya menyisakan puing bangunan hangus dan kerugian miliaran rupiah, tetapi juga meninggalkan luka sosial serta pertanyaan besar tentang cara kita bernegara. Demonstrasi yang semestinya menjadi sarana menyampaikan aspirasi berubah menjadi anarki. Aspirasi tersumbat, kepercayaan publik merosot, dan lembaga legislatif kembali berada dalam sorotan tajam.

Namun di balik peristiwa itu, proses hukum tetap berjalan. Kejaksaan Tinggi NTB memastikan penyelidikan dugaan korupsi dana pokok pikiran (pokir) DPRD tidak berhenti meski gedung tempat wakil rakyat berkantor kini rata dengan tanah. Justru sebaliknya, perhatian publik makin menguat: bagaimana dana yang dimaksudkan sebagai saluran aspirasi rakyat bisa bergeser menjadi “dana siluman”?

Pokir sejatinya lahir dari semangat demokrasi partisipatif. Melalui mekanisme reses, anggota DPRD menampung kebutuhan masyarakat di dapilnya lalu mengusulkan program pembangunan ke pemerintah daerah. Aturannya jelas, dasar hukumnya kuat, bahkan tersedia sistem informasi resmi melalui SIPD. Idealnya, pokir menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah. Namun praktik di lapangan sering kali jauh dari semangat awal.

Alih-alih menjadi saluran aspirasi, pokir justru kerap dipersepsikan sebagai “jatah proyek” yang bisa diatur, dinegosiasikan, bahkan dibagi-bagi. Dari sinilah istilah “dana siluman” berakar menandai adanya aliran anggaran tanpa transparansi dan tanpa jejak akuntabilitas.

Cermin buram demokrasi

Kejati NTB hingga kini telah memeriksa lebih dari 20 orang, termasuk anggota DPRD, kontraktor, hingga pejabat eksekutif. Sejumlah anggota dewan bahkan mengembalikan uang ratusan juta rupiah yang diduga terkait pokir. Fakta ini menguatkan indikasi bahwa ada praktik tak wajar dalam pengelolaan anggaran tahun 2025.

Ironisnya, peristiwa ini muncul saat publik NTB baru saja menyaksikan gedung dewan terbakar. Bagi masyarakat, simbol demokrasi itu tak hanya kehilangan bentuk fisiknya, tetapi juga meredup wibawanya. Bagaimana bisa rakyat percaya, bila lembaga yang mestinya menyuarakan kepentingan mereka justru diselimuti isu korupsi?

Pembakaran gedung DPRD NTB adalah cermin betapa rapuhnya saluran komunikasi antara rakyat dan wakilnya. Aspirasi yang tidak didengar akhirnya meledak dalam bentuk amarah. Namun, kekerasan bukan jawaban. Gedung itu dibangun dengan uang rakyat, dan kini kerugiannya kembali ditanggung rakyat.

Peristiwa ini memberi pelajaran berharga yakni komunikasi politik dan mekanisme aspirasi harus dibenahi. DPRD tidak boleh hanya hadir saat kampanye, lalu hilang saat rakyat menuntut. Transparansi proses reses, publikasi hasil pokir, hingga laporan pertanggungjawaban tiap anggota dewan adalah cara untuk merawat kepercayaan masyarakat.

Reformasi pokir

Kasus dana pokir di NTB mestinya tidak dipandang semata sebagai persoalan lokal, melainkan momentum evaluasi nasional. Sebab, problem pokir sesungguhnya juga mengintai di banyak daerah lain. Mekanisme yang pada awalnya dimaksudkan untuk memperkuat aspirasi rakyat dalam perencanaan pembangunan justru sering bergeser menjadi ruang kompromi kepentingan sempit. Di titik inilah penting untuk menghadirkan reformasi pokir secara menyeluruh. Ada tiga langkah kunci yang bisa ditawarkan sebagai solusi ke depan.

Pertama, digitalisasi penuh dan keterbukaan data. Setiap usulan pokir tidak boleh lagi hanya berhenti di ruang rapat tertutup atau catatan manual yang sulit diakses publik. Sistem informasi harus dibangun sedemikian rupa sehingga setiap masyarakat dapat mengakses data pokir secara daring, lengkap dengan detail lokasi kegiatan, besaran anggaran, serta progres pelaksanaan di lapangan.

Transparansi semacam ini tidak hanya memutus ruang gelap bagi praktik “dana siluman”, tetapi juga mengubah pola relasi antara wakil rakyat dan konstituennya. Anggota dewan yang benar-benar bekerja akan mendapat legitimasi moral karena kinerjanya terlihat jelas, sementara mereka yang bermain-main dengan amanah akan mudah terdeteksi publik. Lebih jauh, digitalisasi juga menciptakan efisiensi birokrasi, memudahkan pengawasan, serta memperkecil potensi manipulasi administrasi.

Kedua, pengawasan partisipatif. Pengawasan formal oleh lembaga negara seperti inspektorat daerah, kejaksaan, hingga KPK memang penting, tetapi terbatas. Pengalaman menunjukkan bahwa penyimpangan kerap terjadi justru di luar radar lembaga-lembaga tersebut. Karena itu, pelibatan masyarakat sipil, akademisi, organisasi profesi, dan media menjadi kunci. Pokir harus ditempatkan sebagai domain publik yang bisa diawasi bersama sejak tahap usulan hingga implementasi.

Masyarakat bisa diminta memberikan masukan atas prioritas usulan, kampus dapat melakukan kajian objektif mengenai kebutuhan riil, media berperan mengawal transparansi dengan pemberitaan investigatif, sementara organisasi masyarakat bisa menjadi mitra kritis dalam memastikan anggaran benar-benar menyentuh kebutuhan warga. Model pengawasan partisipatif ini bukan sekadar retorika, melainkan langkah nyata untuk memperluas ruang demokrasi substantif: rakyat bukan hanya memilih, tetapi juga turut mengawal hasil pilihannya.

Ketiga, etika politik dan sanksi tegas. Pokir bukan hak istimewa yang melekat pada jabatan anggota dewan, melainkan amanah publik yang harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, partai politik sebagai rumah besar para legislator perlu mengambil peran lebih tegas dalam mendidik kadernya. Pendidikan politik internal harus menekankan batas kewenangan, integritas, dan komitmen pelayanan kepada rakyat. Tanpa itu, anggota dewan akan terus memandang pokir sebagai “ruang bermain” yang bisa dinegosiasikan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Di sisi lain, aparat penegak hukum juga tidak boleh gamang. Korupsi di ranah legislatif sama artinya dengan merampas suara rakyat. Karena itu, sanksi harus ditegakkan tanpa pandang bulu, tidak berhenti pada pengembalian uang, tetapi juga menghadirkan efek jera yang nyata. Hanya dengan cara ini kepercayaan publik bisa dipulihkan.

Reformasi pokir pada akhirnya bukan sekadar soal membenahi mekanisme anggaran, melainkan juga membangun budaya politik baru yang berlandaskan keterbukaan, integritas, dan partisipasi. Tanpa perubahan mendasar, pokir akan terus menjadi “lahan basah” yang menjerat wakil rakyat ke dalam lingkaran korupsi. Sebaliknya, dengan reformasi yang menyeluruh, pokir bisa kembali ke ruh aslinya yakni menjembatani kebutuhan masyarakat dan menghadirkan pembangunan yang benar-benar dirasakan rakyat.

Mengembalikan kepercayaan publik

Kasus pokir NTB menjadi pengingat bahwa jabatan publik bukan arena mencari keuntungan, melainkan ruang pengabdian. Para anggota dewan harus kembali ke tujuan awal yakni memperjuangkan kepentingan rakyat. Bila tidak, maka lembaga legislatif akan terus dipandang negatif, dan jurang antara rakyat dan wakilnya kian melebar.

Penegakan hukum yang adil, transparan, dan tanpa pandang bulu adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan. Tak cukup hanya dengan proses penyelidikan, hasilnya harus jelas, siapa yang bersalah, siapa yang bersih, dan bagaimana kerugian negara bisa dipulihkan.

Demokrasi bukan sekadar kotak suara dan kursi dewan. Demokrasi hidup bila ada kepercayaan, keterbukaan, dan akuntabilitas. Kasus pokir di NTB, ditambah tragedi pembakaran gedung DPRD, memberi pesan keras kepada semua pihak: jangan main-main dengan amanah rakyat.

Peristiwa ini harus menjadi tonggak perubahan. Rakyat tidak boleh kehilangan harapan, dewan tidak boleh kehilangan marwah, dan negara tidak boleh kalah oleh praktik korupsi.

Dari NTB, kita belajar bahwa membangun demokrasi butuh keberanian, yakni keberanian rakyat bersuara dengan damai, keberanian dewan menjaga amanah, dan keberanian aparat hukum menegakkan keadilan tanpa kompromi.

Copyright © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Rekomendasi lain

  • Related Posts

    Koalisi Jurnalis minta Polda Bali tindak lanjuti laporan intimidasi

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Koalisi Jurnalis minta Polda Bali tindak lanjuti laporan intimidasi Minggu, 7 September 2025 15:32 WIB waktu baca 5…

    Waspadai modus phishing gunakan halaman login universitas palsu

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Waspadai modus phishing gunakan halaman login universitas palsu Minggu, 7 September 2025 15:32 WIB waktu baca 3 menit…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *