Prasyarat bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju

Telaah

Prasyarat bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju

  • Oleh Hanni Sofia
  • Kamis, 1 Mei 2025 08:56 WIB
  • waktu baca 5 menit
Prasyarat bagi Indonesia untuk bisa menjadi negara maju
Sejumlah warga mengamati aplikasi-aplikasi ‘start up’ yang dapat diunduh melalui telepon pintar di Jakarta, Selasa (26/10/2021). Start-up diharapkan bukan simbol gaya hidup digital semata, tetapi sebagai tulang punggung ekonomi masa depan. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.

Transformasi menuju negara berpendapatan tinggi bukanlah narasi retoris yang bisa dijual dalam kampanye politik

Jakarta (ANTARA) – Untuk membayangkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2045 bukanlah sekadar permainan angka dalam proyeksi makroekonomi.

Ini adalah tantangan peradaban yang menuntut lompatan struktural, bukan sekadar pertumbuhan bertahap.

Laporan terbaru McKinsey Global Institute memberikan peta jalan yang masuk akal dan konkret, tetapi keberhasilannya akan sangat tergantung pada keseriusan dan keberanian dalam menata ulang fondasi pembangunan ekonomi nasional.

Kuncinya terletak pada dua hal yakni peningkatan produktivitas secara radikal dan penciptaan ekosistem yang memungkinkan lahirnya tiga kali lipat lebih banyak perusahaan menengah dan besar.

Dalam laporan yang berjudul The Enterprising Archipelago: Propelling Indonesia's Productivity, terdapat dua faktor besar yang bisa menjadi acuan bagi Indonesia meraih tujuan menjadi negara berpenghasilan tinggi, yaitu pertumbuhan rasio antara modal terhadap jumlah pekerja (capital per worker), atau disebut pendalaman modal (capital deepening). Selain itu sektor-sektor bisnis yang lebih kompetitif yang dapat mencetak lebih banyak perusahaan menengah dan besar.

Sebagai ekonomi terbesar ke-16 di dunia, Indonesia sejatinya tidak kekurangan skala. Yang menjadi pertanyaan utama adalah apakah skala itu mampu dikonversi menjadi kekuatan produktif yang unggul.

Indonesia telah mengambil langkah besar untuk menurunkan angka kemiskinan ekstrem sejak 1980.

Untuk beralih ke negara berstatus high-income, Indonesia harus mampu menaikkan pertumbuhan produktivitas (output per worker) tahunannya yang sejak tahun 2000 berada di angka 3,1 persen menjadi 4,9 persen. Sebab negara-negara berstatus high-income ditandai dengan pendapatan per kapita setidaknya 14.000 dolar AS.

Ini bukan hanya soal efisiensi kerja, tetapi juga soal bagaimana memproduksi nilai tambah dalam rantai ekonomi yang semakin kompleks dan kompetitif.

Dalam konteks inilah, peran perusahaan menjadi vital. Bukan sembarang perusahaan, tetapi perusahaan yang memiliki kapasitas untuk tumbuh, mengadopsi teknologi, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan berekspansi lintas sektor serta wilayah.

Ketiadaan perusahaan besar yang memadai di Indonesia bukan hanya masalah jumlah, tetapi juga cerminan dari lemahnya struktur insentif ekonomi nasional.

Banyak usaha kecil tetap kecil karena sistem yang tidak memungkinkan mereka bertumbuh. Terlalu banyak hambatan administratif, pembiayaan terbatas, dan regulasi yang berubah-ubah, menciptakan ekosistem yang membuat usaha berskala besar menjadi eksklusif bagi segelintir pihak.

Maka, target untuk melipatgandakan jumlah perusahaan besar bukan sekadar ambisi kuantitatif. Ini adalah panggilan untuk revolusi institusional di mana birokrasi tidak lagi menjadi beban, tetapi enabler (pemberi dukungan) pertumbuhan.

Senior Partner McKinsey dan Direktur MGI, Chris Bradley, mengatakan, Indonesia harus meningkatkan jumlah perusahaan menengah dan besar sebanyak tiga kali lipat, sehingga menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas tinggi, dan mendorong pertumbuhan berbagai sektor value added, “Selain manufaktur dan pertanian, pangsa terbesar dari value added kemungkinan berasal dari sektor jasa,” katanya.

Baca juga: Pemerintah tambah tiga subsektor baru ekonomi kreatif

Lima Modal

Managing Partner, McKinsey & Company, Indonesia Khoon Tee Tan mengatakan, dalam upaya meraih status high-income economy, Indonesia perlu memperkuat lima capital, termasuk sistem keuangan yang tangguh, sistem pendidikan yang kuat, peraturan dan kebijakan kegiatan usaha yang mudah, infrastruktur kelas dunia, dan ekosistem yang mendukung bagi start-up dan perusahaan kecil.

“Dengan berfokus pada bidang-bidang tersebut, Indonesia dapat membangun kondisi yang mendukung pertumbuhan produktivitas yang lebih tinggi,” ucapnya.

Lima jenis modal yang disoroti McKinsey dalam laporannya ini sebenarnya bukanlah konsep baru. Kekuatan laporan ini terletak pada penekanan bahwa kelima modal tersebut harus bekerja serentak, bukan parsial.

Modal keuangan, misalnya, terlalu lama didominasi oleh sektor perbankan dengan pola konservatif yang tidak selaras dengan kebutuhan dunia usaha modern.

Kredit swasta yang rendah dan pasar modal yang dangkal membuat banyak perusahaan rintisan stagnan sebelum sempat tumbuh.

Tanpa reformasi mendalam terhadap struktur pembiayaan dan insentif fiskal yang progresif, pertumbuhan perusahaan akan terus tersandera likuiditas.

Modal manusia juga membutuhkan pendekatan yang jauh lebih strategis ketimbang sekadar memperluas akses pendidikan.

Tantangan sesungguhnya adalah pada ketidakcocokan keterampilan antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri.

Negeri ini tidak hanya memerlukan lebih banyak tenaga kerja berpendidikan, tetapi juga tenaga kerja yang fleksibel, adaptif, dan kreatif.

Skill matching yang buruk akan terus menjadi batu sandungan apabila pendidikan tinggi tetap berkutat pada kurikulum yang ketinggalan zaman dan terlepas dari realitas pasar.

Modal institusional menjadi ujian terbesar bagi komitmen reformasi. Peraturan perundang-undangan yang tidak sinkron, proses perizinan yang lambat, dan ketidakpastian hukum adalah biang keladi stagnasi investasi.

Jika Indonesia ingin menjadi magnet investasi global, maka simplifikasi birokrasi bukan hanya soal mempercepat layanan, tetapi juga soal membangun kepercayaan.

Dunia usaha harus percaya bahwa aturan akan berlaku konsisten, bahwa negara adalah mitra yang andal, bukan ancaman yang tak terduga.

Infrastruktur dan konektivitas juga harus dibaca dalam spektrum yang lebih luas dari sekadar membangun jalan dan pelabuhan.

Infrastruktur digital adalah tulang punggung ekonomi baru, dan kesenjangan akses internet yang masih lebar akan menciptakan jurang baru antara pelaku usaha di kota besar dan daerah tertinggal.

Pembangunan harus inklusif secara spasial dan digital, jika tidak ingin potensi luar Jawa terus tertinggal dan terpinggirkan.

Terakhir, tetapi tidak kalah penting, adalah modal kewirausahaan. Indonesia memiliki semangat wirausaha yang besar, tetapi tanpa dukungan sistemik, ia mudah padam.

Perlu ada mekanisme pendanaan inovatif seperti venture capital dan private equity yang mampu menampung risiko dan mendampingi pertumbuhan.

Pemerintah juga harus berhenti melihat start-up sebagai simbol gaya hidup digital semata, tetapi sebagai tulang punggung ekonomi masa depan.

Transformasi menuju negara berpendapatan tinggi bukanlah narasi retoris yang bisa dijual dalam kampanye politik. Ia adalah proses menyakitkan, penuh negosiasi, dan menuntut keberanian dalam mengambil keputusan-keputusan yang tidak populer.

Membiarkan sektor-sektor tidak efisien hidup karena pertimbangan politik adalah kontraproduktif. Mengabaikan inovasi dan mempertahankan status quo birokrasi adalah sabotase terhadap generasi mendatang.

Sebaliknya, memberikan ruang bagi dinamika usaha yang sehat, mendukung ekspansi perusahaan lokal agar bisa menembus pasar global, serta menciptakan iklim usaha yang kompetitif, adalah jalan menuju masa depan yang layak diperjuangkan.

Jika Indonesia mampu menciptakan keseimbangan antara peran negara yang strategis dan dinamika pasar yang sehat, maka status negara berpendapatan tinggi bukan lagi mimpi di ujung horizon, melainkan keniscayaan yang tinggal menunggu eksekusi yang cerdas dan konsisten.

Baca juga: Gubernur BI: Investor global optimis terhadap perekonomian Indonesia

Baca juga: Ekonom: Profil Indonesia di dunia internasional terwakili Presiden

Baca juga: Survei: Konsumen tetap optimistis soal ekonomi Indonesia pada Maret

Copyright © ANTARA 2025

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Rekomendasi lain

  • Related Posts

    Rumor isyaratkan “mode desktop” pada iPhone

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Rumor isyaratkan “mode desktop” pada iPhone Kamis, 1 Mei 2025 19:53 WIB waktu baca 1 menit iPhone 16…

    Realisasi investasi Jakarta triwulan I 2025 tertinggi se-Indonesia

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Realisasi investasi Jakarta triwulan I 2025 tertinggi se-Indonesia Kamis, 1 Mei 2025 19:51 WIB waktu baca 2 menit…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *