JARINGAN Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) justru memunculkan persoalan baru di sekolah, mulai dari dugaan penyelewengan dana hingga praktik pemalakan yang mengarah pada budaya koruptif di lingkungan pendidikan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan mereka menerima banyak laporan dari orang tua murid dan satuan pendidikan setelah program MBG masuk ke sekolah negeri maupun swasta. “Begitu MBG masuk, kami mendapat laporan adanya pemalakan, termasuk dari satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) dan pihak sekolah,” kata Ubaid dalam diskusi Refleksi Akhir Tahun: Rapor Pendidikan 2025 di Bakoel Coffee, Jakarta Pusat, Selasa, 30 Desember 2025.
Dia berujar, sejumlah sekolah besar dengan jumlah murid ribuan memiliki posisi tawar kuat terhadap penyedia MBG. Ia menyebut, ada sekolah yang meminta setoran Rp 1.000 per anak per hari agar program MBG bisa berjalan di sekolah tersebut. “Kalau muridnya 5.000 orang, itu bisa Rp 5 juta per hari. Dan itu mau dibayar karena keuntungan SPP masih lebih besar,” ujarnya.
Praktik semacam itu, kata Ubaid, merusak ekosistem pendidikan. Di tengah dugaan setoran, kualitas makanan yang diterima siswa justru dipertanyakan. Ia menyinggung menu MBG yang nilainya diperkirakan tidak sampai Rp 10 ribu per porsi, disertai pengurangan jatah makanan.
Berdasarkan temuan itu, Ubaid mengatakan alih-alih memperbaiki gizi anak, MBG malah berpotensi merusak sekolah dan menyuburkan budaya koruptif. JPPI mendesak pemerintah mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan program MBG, terutama aspek tata kelola, transparansi anggaran, dan perlindungan terhadap guru serta siswa yang menyampaikan kritik.
JPPI juga mencatat adanya intimidasi terhadap guru dan siswa yang mengkritik kualitas makanan MBG. Ubaid mencontohkan kasus ditemukannya belatung dalam makanan yang justru berujung pada pemanggilan dan tekanan terhadap pihak yang melaporkan. “Ada yang sampai dibilang kurang bersyukur karena memotret makanan berbelatung,” kata dia.
Selain persoalan kualitas, MBG juga menimbulkan masalah sampah makanan di sekolah. Ubaid mengatakan, banyak siswa enggan mengonsumsi MBG sehingga makanan dibungkus dan dibuang. Di beberapa daerah, sekolah bahkan meminta siswa membawa pulang makanan agar tidak menambah beban sampah sekolah. “Daripada sekolah bingung buang sampah, akhirnya disuruh bawa pulang dan dibuang di rumah,” ujarnya.
Di Kota Tangerang Selatan, kata Ubaid, persoalan sampah MBG menjadi sorotan karena keterbatasan pengelolaan sampah daerah. Kondisi ini dinilai mencerminkan lemahnya perencanaan program yang berdampak langsung pada lingkungan sekolah.






