TERBITNYA Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) versi Kementerian Kebudayaan memunculkan kekhawatiran di kalangan guru sejarah. Mereka menilai buku sejarah resmi negara berpotensi menyeragamkan narasi masa lalu dan menyempitkan ruang berpikir kritis di ruang kelas.
Guru Sejarah SMAN 11 Bekasi Prakoso Tio mengatakan penulisan sejarah nasional yang diinisiasi pemerintah memiliki skala dan ambisi besar, bahkan belum pernah terjadi sejak penerbitan Sejarah Nasional Indonesia era Orde Baru pada 1976 di bawah koordinasi Nugroho Notosusanto. “Secara historis, ini baru kedua kalinya negara menulis sejarah nasional secara resmi dan mendistribusikannya ke sekolah,” kata Prakoso dalam diskusi Bedah CP Mapel Sejarah dan Relevansinya dengan Buku Sejarah Indonesia yang Baru pada Jumat, 19 Desember 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menurut dia, berbeda dengan buku Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) yang terbit pada awal 2000-an, buku sejarah nasional versi pemerintah dibiayai negara dan dirancang sebagai referensi utama pembelajaran. Konsekuensinya, narasi yang termuat di dalamnya berpotensi menjadi satu-satunya versi sejarah yang dianggap sah. “Ketika sebuah narasi dilabeli sejarah resmi, cerita-cerita di luar buku itu bisa dianggap tidak penting atau tidak benar,” ujarnya.
Prakoso menilai kondisi tersebut berisiko meminggirkan sejarah lokal dan pengalaman masyarakat di daerah. Ia mencontohkan pemberontakan petani Bekasi pada 1870 yang selama ini ia ajarkan kepada murid, tetapi tidak tercatat dalam buku sejarah nasional. “Kalau tidak masuk buku resmi, lama-lama sejarah lokal dianggap tidak ada,” kata dia.
Kekhawatiran lain muncul pada tujuan buku tersebut yang disebut ingin membangun narasi Indonesia-sentris dan menghapus bias kolonial. Menurut Prakoso, upaya itu sah secara akademik, tetapi rawan ditarik ke arah politik identitas. “Dalam sejarah nasional selalu ada cerita yang dihilangkan dan ada yang dimunculkan. Itu bukan soal akademik semata, tapi soal kekuasaan,” ujarnya.
Ia mengutip pandangan sejarawan Asvi Warman Adam yang menyebut penulisan sejarah nasional kerap menjadi arena pertarungan antara sejarah sebagai ilmu dan kepentingan politik. Prakoso juga menyinggung buku Erasing History karya Jason Stanley yang membahas kecenderungan negara mengatur narasi masa lalu untuk mencari legitimasi. “Negara yang tidak percaya diri biasanya mulai mengurus sejarahnya,” kata Prakoso.
Bagi guru sejarah, terbitnya buku resmi negara menempatkan mereka dalam posisi dilematis. Di satu sisi, guru berpotensi diposisikan sebagai penyampai narasi negara. Di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab profesional untuk mengajarkan berpikir kritis. “Kalau guru hanya mengulang satu versi, itu bukan pendidikan sejarah, tapi indoktrinasi,” ujar Prakoso.
Ia menegaskan bahwa guru sejarah sebenarnya memiliki landasan untuk bersikap kritis melalui Capaian Pembelajaran (CP) dalam Keputusan Kepala BSKAP Nomor 46 Tahun 2025. CP tersebut menekankan pembelajaran mendalam, keterampilan berpikir historis, literasi sumber, dan penelitian inkuiri. “CP memberi ruang otonomi pedagogis bagi guru,” katanya.
Prakoso menyatakan, jika buku sejarah nasional masuk ke sekolah, seharusnya diperlakukan sebagai salah satu sumber, bukan kebenaran tunggal. “Buku itu justru bisa dibedah bersama siswa: apa yang ditulis, apa yang tidak ditulis, dan kenapa,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya tetap mengajarkan peristiwa-peristiwa sensitif seperti 1965 dan 1998. Menurut dia, sejarah tidak boleh hanya berisi kisah heroik, tetapi juga tragedi yang membentuk bangsa. “Tujuannya bukan menanamkan kebencian, tapi melatih nalar kritis dan empati,” katanya.
Prakoso mengatakan, negara selalu memiliki kepentingan atas masa lalu, tetapi guru sejarah tidak boleh menjadi sekadar kurir narasi penguasa. “Kalau sejarah diajarkan hanya satu versi, murid tidak sedang belajar sejarah, mereka sedang diajari untuk patuh,” ujarnya.
Tempo telah berupaya meminta tanggapan dari Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Dirjen Perlindungan Kebudayaan dan Tradisi Restu Gunawan, dan salah satu tim penulis buku sejarah versi Kementerian Kebudayaan, Susanto Zuhdi. Namun, hingga berita ini ditulis, ketiganya belum memberikan respons.






