ANGGOTA Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Irmawan mendesak pemerintah mempercepat penyaluran air bersih bagi masyarakat terdampak banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Menurut Irmawan, saat ini daerah tersebut mengalami krisis air bersih lantaran banyak sumber air yang rusak akibat dilanda bencana.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
“Air bersih adalah kebutuhan paling mendasar, namun justru setelah bencana air menjadi barang langka. Banyak sumur warga tidak lagi bisa digunakan karena tercemar lumpur dan kotoran,” kata Irmawan dalam keterangan tertulis yang dikutip dari laman Fraksi PKB, Sabtu, 20 Desember 2025.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa Aceh itu berujar, warga sepenuhnya bergantung pada bantuan air bersih dari pemerintah usai bencana. Hal itu dipicu oleh terputusnya akses masyarakat ke sumber air bersih.
Pasalnya, banyak wilayah yang terdampak bencana berada di kawasan perbukitan dan aliran sungai. Sehingga terjangan air bah mengakibatkan sumber mata air tertutup material tanah, jaringan pipa rusak, serta instalasi pengolahan air tidak berfungsi.
Menurut Irmawan, masyarakat memerlukan air bersih untuk keperluan dasar seperti, minum memasak, mandi, dan mencuci. Namun hingga tiga pekan usai bencana, penyaluran air bersih belum optimal di sejumlah lokasi terdampak.
“Bahkan untuk kebutuhan sederhana seperti mandi dan mencuci pakaian masih sangat terbatas. Masih ada warga yang mengenakan pakaian berlumur lumpur karena tidak bisa dicuci akibat kekurangan air bersih,” ujar dia.
Kelangkaan air bersih juga dianggap berpotensi memicu masalah kesehatan, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan. Irmawan mendapat laporan bahwa minimnya air bersih telah memicu peningkatan kasus penyakit kulit dan diare di sejumlah titik pengungsian.
“Banyak anak mengalami penyakit kulit karena tidak bisa membersihkan diri dengan layak. Jika dibiarkan, kondisi ini bisa berkembang menjadi krisis kesehatan,” katanya.
Oleh sebab itu, Irmawan pun mendesak pemerintah agar segera mendistribusikan air bersih secara masif, merata, dan berkelanjutan, termasuk ke daerah terpencil yang sulit dijangkau.
“Air bersih bukan sekadar bantuan tambahan, tetapi kebutuhan utama yang menentukan kesehatan, martabat, dan keselamatan warga terdampak bencana,” tutur Irmawan.
Hingga saat ini pemerintah tidak menetapkan bencana Sumatera sebagai darurat nasional.
Hal ini mengakibatkan sulitnya bantuan asing masuk ke wilayah bencana. Pemerintah Aceh bahkan telah mengirim surat kepada dua lembaga PBB yaitu UNDP dan Unicef untuk membantu recovery korban bencana banjir dan tanah longsor.
Adapun Muhammadiyah menilai ketidaksiapan negara dalam menetapkan status darurat kemanusiaan nasional atas bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera dinilai memperpanjang penderitaan para korban serta mencerminkan belum hadirnya tanggung jawab negara secara utuh.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menegaskan bahwa skala bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah melampaui kapasitas pemerintah daerah, sehingga membutuhkan komando dan penanganan nasional yang terkoordinasi.
Akibat bencana dahsyat ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan jumlah korban meninggal sudah mencapai 1.068 jiwa per Jumat, 19 Desember 2025 pukul 09.30 WIB. Data itu diakses dari Geoportal Data Bencana milik BNPB. “1.068 jiwa korban meninggal,” tulis keterangan di Geoportal Data Bencana, Jumat.
Kabupaten Agam tercatat sebagai wilayah dengan jumlah korban meninggal tertinggi, yakni 187 jiwa, disusul Kabupaten Aceh Utara sebanyak 169 jiwa, dan Tapanuli Tengah 131 jiwa. Sementara itu, sebanyak 190 orang masih dinyatakan hilang dan sekitar 7.000 orang mengalami luka-luka.
BNPB juga melaporkan sebanyak 147.236 rumah mengalami kerusakan. Kerusakan juga terjadi pada 1.600 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 967 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung atau kantor, dan 145 jembatan.






