Mengatasi banjir dan genangan malapetaka Jabodetabek

Telaah

Mengatasi banjir dan genangan malapetaka Jabodetabek

  • Oleh Dr. Gatot I., Dr. Muhrizal S., dan Dr. Destika C.*)
  • Jumat, 11 April 2025 05:47 WIB
  • waktu baca 7 menit
Mengatasi banjir dan genangan malapetaka Jabodetabek
Foto udara luapan air Sungai Ciliwung yang menggenangi jalan dan permukiman di Jatinegara, Jakarta, Selasa (4/3/2025). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/Spt.

Jakarta (ANTARA) – Hari-hari ini rakyat miskin yang tidak berpunya terus mengalami deraan hidup. Gas melon yang sempat susah dibeli, lalu harga bahan pokok yang masih relatif tinggi, dan belum tahu kapan berakhirnya.

Baru-baru ini banjir dan genangan juga datang kembali. Bencana yang terus berulang melanda Jakarta dan sekitarnya.

Publik mendengar beritanya di media on-line maupun off-line, bahkan dilaporkan secara live oleh masyarakat.

Mengapa demikian, argumennya sangat kuat, karena air hujan yang tidak dapat tertampung di tanah yang sudah banyak berubah menjadi beton sehingga banjir dan genangan akan terjadi yang diperparah jika sedang terjadi rob (pasang air laut) sehingga bagaikan benteng mencegah terbuangnya air ke laut.

Pada musim kemarau masyarakat miskin akan mengalami kelangkaan air alias kekeringan.

Semakin kering pada musim kemarau, maka pertanaman banyak yang mati, sehingga pada musim hujan, daya sangga airnya anjlok, erosinya semakin dahsyat, sehingga kerusakan akan terus terjadi dan semakin dipercepat.

Pertanyaan fundamentalnya, apa penyebab fundamental banjir dan genangan terus terjadi dengan besaran (magnitude) terus meningkat, baik intensitas, areal terdampak maupun durasinya?

Pemicu dan pemacu banjir serta genangan
berdasarkan pemantauan lapangan dari hulu Sungai Ciliwung sampai hilir di pantai, tampak jelas bahwa perubahan tutupan lahan (land cover) dari tanaman ke hutan beton menjadi faktor determinannya.

Kondisinya diperburuk dengan rendahnya pengawasan pemerintah kabupaten/kota mulai kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok dan Daerah Khusus Ibukota dan menjaga tutupan lahan bervegetasi.

Justru yang terjadi, sawah dialihfungsikan, lahan kering dibetonkan, daerah hijau bahkan resapan bisa dirubah secara periodik lima tahunan dengan persetujuan DPRD kabupaten/Kota.

Motif ekonomi menjadi biang keladinya, tapi yang paling mendasar adalah mental dan komitmen aparat dalam menegakkan aturan tata ruang yang benar.

Tragisnya lagi, pemerintah pusat belum melakukan moratorium pembangunan rumah tapak, sehingga cepat dan pasti tutupan lahan bervegetasi akan habis, dan permukaan lahan menjadi tutupan beton yang sifatnya tidak meloloskan air ke dalam tanah (impermeable) dan sebaliknya mempercepat aliran air, meningkatkan laju erosi dan destruksi ketika masuk ke dalam Sungai.

Dampak ekonomi sosial

Banjir dan genangan yang terus berulang, jelas akan merugikan banyak pihak, terutama orang miskin yang bermukim di bantaran dan rawan banjir.

Orang kaya umumnya dengan akses keuangan yang baik, mereka bisa memilih areal pemukiman yang relatif aman terhadap banjir.

Meskipun begitu, mereka tidak bisa menghindar, karena banjir akan mengganggu transportasi dan mobilitas masyarakat. Semua menjadi lama, mahal, dan itu harus ditanggung oleh masyarakat dan negara.

Beban biaya ini semakin berat dan mahal, ketika saat yang sama terjadi rob (muka air laut yang naik). Implikasinya aliran air Sungai dari hulu tertahan di hilir, sehingga menimbulkan genangan, dengan besaran yang lebih besar.

Apalagi jika durasinya genangan makin lana, tinggi genangan terus meningkat. Selain kerusakan fisik, maka merebaknya wabah penyakit tidak bisa dihindari.

Biaya hidup yang harus dikeluarkan oleh korban banjir dan genangan semakin besar dan mahal. Akibatnya harga bahan pokok seperti beras, mie, telur, minyak dan bahan pokok harus membayar biaya angkut yang lebih mahal.

Terbatasnya pasokan akan lebih mengerek harga bahan pangan pokok, karena saat itu berlaku hukum pasar antara pasokan dan permintaan. Itu yang terjadi di konsumen.

Tersendatnya pasokan bahan makanan akan menurunkan harga di produsen dalam hal ini petani.

Celakanya, begitu banjir selesai, masyarakat dan pemerintah terkesan melupakan penyelesaiannya.

Banjir seakan merupakan ritual rutin tahunan yang harus diterima sebagai takdir. Implikasinya masalah mitigasi banjir dan genangan, seperti “dijadikan” proyek yang justru mendatangkan keuntungan.

Buktinya banjir praktis tidak pernah terselesaikan, sekalipun pemerintahan terus berganti, eksperimen terus dilakukan, biaya besar terus digelontorkan.

Bahkan belakangan muncul ide membangun giant great wall di Pantai utara Jawa untuk memitigasi rob.

Pertanyaan mendasarnya, bagaimana dengan banjir yang asalnya dari hulu, apalagi distruksi sistemik tutupan lahan di hulu seakan berjalan terus, dipercepat tanpa terkendali?

Akankah, rakyat akan terus menjadi korban dan bahkan terkesan dibiarkan menjadi korban banjir dan genangan yang semakin dahsyat? Lalu bagaimana dengan mitigasi banjir yang praktikan, operasional, dan berkeadilan?

Mitigasi banjir

Jika pemerintah berhasil memitigasi banjir dan genangan di Jakarta dan sekitarnya, maka paling tidak 50 persen masalah Jakarta terkendali, ekonomi berputar, dan economic loss yang tidak perlu dapat direduksi secara signifikan.

Argumennya, banjir dan genangan akan melumpuhkan urat nadi ekonomi tanpa pandang bulu.

Dampak ikutannya juga sangat banyak. Biaya pemerintah yang seharusnya digunakan untuk keperluan lain terpaksa harus digunakan untuk menolong rakyat yang terdampak banjir.

Salah satu usulan rekomendasi praktikan dan operasional yang dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota adalah moratorium pembangunan rumah tapak, semua harus beralih ke rumah vertikal.

Publik dapat melihat bagaimana negara negara seperti Singapura, Jepang, Korea, Amerika Serikat, demi memperluas ruang terbuka hijau, mereka membangun permukiman semakin tinggi dibanding sebelumnya dan sisanya dijadikan lahan terbuka hijau.

Selanjutnya dilakukan moratorium alih fungsi lahan sawah, sehingga secara langsung kita mempertahankan retensi air di hulu.

Agar moratorium itu berhasil, maka Presiden dapat mengeluarkan Perpu termasuk tutupan lahan hijau minimum di setiap wilayah disertai sanksi yang tegas dan menimbulkan jera, agar lahan terbuka hijau benar benar bisa terjaga, bahkan ditingkatkan.

Serapan air dalam jumlah yang tidak terbatas dari hulu sampai hilir baik di zona permukiman dan non permukiman harus dilakukan secara masif dan ditransfer menjadi aliran permukaan sudah berkurang jauh volumenya dan kecepatannya.

Pemerintah dapat membuat skenario penurunan koefisien run off (rasio antara volume aliran permukaan terhadap volume hujan).

Semakin tinggi koefisien run-off dapat mengindikasikan bahwa daerah tangkapan air tidak baik. Sebaliknya, jika koefisien run-off kecil, maka kapasitas tampung daerah tangkapan air bagus. Artinya daerah tangkapan air dapat mengatur dan mengelola serta mendistribusikan air dengan baik.

Pemerintah dapat menyusun skenario koefisien run-off dari saat ini menuju yang ideal. Berdasarkan kondisi sungai dan vegetasi serta tutupan lahan, maka disarankan koefisien run-off tidak lebih dari 3 persen agar tidak menimbulkan banjir dan genangan yang signifikan.

Itu jika dan hanya jika semua pihak mengambil peran dalam menampung air hujan di sepanjang musim penghujan.

Manfaat jangka panjangnya, pasokan air pada musim kemarau akan lebih baik, sehingga bencana kekeringan juga termitigasi ketika mitigasi banjir berhasil dilakukan.

Adaptasi banjir

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pasti sudah memiliki peta zona rawan banjir dan genangan. Pemanfaatan peta tersebut perlu dimaksimalkan dengan mengembangkan rumah adaptif banjir dan genangan berdasarkan skenario tinggi genangan maksimum yang pernah terjadi.

Masyarakat Jakarta sebagian besar sudah melakukan adaptasi terhadap banjir dan genangan, terutama yang bermukim di bantaran Sungai.

Namun, karena magnitude banjir makin besar, maka adaptasi tersebut tidak mampu merespons besaran banjir.

Untuk itu pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum perlu menghitung kembali besaran banjir maksimum untuk periode ulang 10 tahun, 25 tahun dan 50 tahun untuk menyusun langkah adaptasinya.

Masyarakat dapat beradaptasi terhadap banjir dan genangan dengan menyesuaikan tinggi rumah panggung permukiman yang rawan banjir dan genangan.

Pengembangan pilot project rumah yang adaptif terhadap banjir di beberapa daerah endemik perlu diintroduksi, agar ada teladan bagi Masyarakat untuk melakukannya secara benar.

Pekerjaan besar ini perlu dirancang jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang dalam bentuk master plan mitigasi dan adaptasi banjir dalam 100 tahun ke depan.

Master plan ini selanjutnya ditetapkan menjadi Perda dan disetujui DPRD, sehingga menjadi pedoman kerja bagi Gubernur terpilih siapapun orangnya, dari manapun partai pengusungnya.

Pekerjaan ini bisa dimulai dengan mengumpulkan data dan informasi yang relevan untuk membuat keputusan dalam mitigasi dan adaptasi banjir dan genangan Jakarta.

Kalau banjir dan genangan Jakarta terus terjadi dan bahkan terus meningkat besarannya, maka dipastikan penyelesaian yang dilakukan tidak menyeluruh alias tambal sulam, karena tidak mampu menyelesaikan akar masalahnya.

Ini menjadi tantangan bagi Gubernur Jakarta yang baru terpilih, sehingga publik dapat menagih janjinya. Kelak rakyat dan publiklah yang akan menilainya.

*) Penulis adalah Analis Kebijakan di Kementerian Pertanian dan Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Pertanian.

Copyright © ANTARA 2025

Komentar

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Rekomendasi lain

  • Related Posts

    16 pelajar terseret arus ombak Pantai Tiku Agam – ANTARA News

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Komentar Kirim Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE. Berita Terkait Video Menjenguk Si Maung, Harimau Sumatera yang…

    Anggota DPD RI dorong pembangunan infrastruktur di kawasan 3TP – ANTARA News

    English Terkini Terpopuler Top News Pilihan Editor Pemilu Otomotif Antara Foto Redaksi Komentar Kirim Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE. Berita Terkait Video Anggota DPD RI dorong PMI Kaltara…

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *