
Telaah
Mengekstrak suara Tuhan
- Oleh Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc *)
- Selasa, 1 April 2025 07:11 WIB
- waktu baca 5 menit

Penguasa harus mampu menyaring informasi dengan bijaksana melalui dialog, konsultasi dengan berbagai elemen masyarakat, serta mempertimbangkan nasihat dari para ahli yang kompeten
Jakarta (ANTARA) – Artikel berjudul ‘Seni berkomunikasi dengan rakyat’ yang ditulis Hanni Sofia di Rubrik Telaah LKBN Antara pada 30 Maret 2025 telah menyadarkan publik tentang maksud dari adagium klasik yaitu “Vox populi, vox Dei.”
Hanni mengungkap bahwa pernyataan itu muncul secara tertulis pertamakali dalam bentuk sebuah surat dari Alcuin, seorang sarjana Inggris yang menjadi kepala Biara Marmoutier yang juga berperan sebagai penasihat Charlemagne, penguasa Eropa pada abad pertengahan.
Jika dilihat secara terpisah, frasa suara rakyat adalah suara Tuhan terdengar seperti seruan awal untuk demokrasi agar penguasa mendengarkan pendapat umum. Namun, pernyataan itu justru ditulis Alcuin dengan maksud bertolak belakang. Ia mendesak kaisar agar orang-orang yang terus mengatakan vox populi, vox dei, tidak selalu harus didengarkan, karena kerumunan dan kerusuhan massa selalu sangat dekat dengan kegilaan.
Dengan demikian, Alcuin menggunakan ungkapan ini untuk menekankan bahwa pendapat mayoritas tidak selalu mencerminkan kebenaran atau kehendak ilahi. Jika kenyataannya memang demikian, terdapat dua pertanyaan besar yang harus dijawab oleh para penguasa setiap bangsa.
Pertama, bagaimana mengekstrak suara rakyat yang sangat beragam yang benar-benar representasi suara Tuhan atau kehendak Ilahi? Kedua, bagaimana cara penguasa merangkul rakyat agar tetap mendukung kekuasaannya saat berhadapan dengan kondisi ketika pandangan umum rakyat bukan suara Tuhan?
Baca juga: Seni berkomunikasi dengan rakyat
Artikel ini berusaha menjawab kedua pertanyaan tersebut meskipun mungkin tidak selalu dapat memuaskan.
Pertama, untuk mengekstrak suara rakyat yang sangat beragam yang benar-benar representasi suara Tuhan atau kehendak Ilahi, memerlukan sistem yang memadukan pertimbangan rasional, etika, dan nilai-nilai moral yang sejalan dengan hasil penelitian dan pengkajian paling mutakhir, ajaran-ajaran agama, dan nilai spiritualitas masyarakat.
Proses ini tidak bisa hanya didasarkan pada angka atau opini mayoritas semata, tetapi harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas, seperti keselarasan dengan nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan umum. Penguasa harus mampu menyaring informasi dengan bijaksana melalui dialog, konsultasi dengan berbagai elemen masyarakat, serta mempertimbangkan nasihat dari para ahli yang kompeten di bidangnya masing-masing tergantung persoalan-persoalan yang dihadapi.
Para ahli tersebut dapat berasal dari ilmuwan, akademisi, dan praktisi yang bergelut di bidang masing-masing. Para ahli tersebut yang menjadi steering of nation yang dapat mengarahkan bangsa ini berjalan pada arah yang benar. Dalam konteks ini, para ahli bertanggung jawab memberi panduan berbasis pengetahuan, riset, pengalaman, dan prinsip-prinsip moral atau etika yang membantu penguasa memahami apakah suara rakyat tersebut dapat dianggap benar-benar mencerminkan nilai-nilai yang lebih tinggi.
Pada konteks Indonesia, para ahli tersebut lazimnya memiliki organisasi profesi seperti Perhimpunan Periset Indonesia (PPI), Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), Perhimpunan Agronomi Indonesia (Peragi), Aliansi Peneliti Pertanian Indonesia (APPERTANI), Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN), dan masih banyak lagi organisasi profesi yang sesuai dengan bidang masing-masing.
Para ahli dari berbagai disiplin ilmu berperan penting dalam menyaring dan mengevaluasi suara rakyat agar dapat diketahui apakah suara tersebut benar-benar mencerminkan kehendak Ilahi atau kebenaran universal. Dengan memberikan wawasan dan perspektif berbasis pengetahuan ilmiah, moral, dan spiritual, para ahli dapat membantu penguasa untuk membuat keputusan yang lebih bijaksana dan adil, serta lebih sesuai dengan kebenaran yang lebih tinggi daripada sekadar mengikuti opini mayoritas yang mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak relevan atau tidak benar.
Pada konteks demokrasi di Indonesia yang menganut trias politika —eksekutif, yudikatif, dan legislatif— bukan tidak mungkin di masa mendatang anggota legislatif tidak seratus persen dipilih oleh rakyat seperti berlaku saat ini. Patut juga dipertimbangkan terdapat sebagian kecil anggota legislatif yang merupakan perwakilan dari para ahli di bidangnya masing-masing sehingga dapat menjadi tandem para anggota legislatif yang dipilih secara langsung.
Kedua, cara penguasa merangkul rakyat agar tetap mendukung kekuasaannya saat berhadapan dengan kondisi ketika pandangan umum rakyat bukan suara Tuhan adalah dengan mengedepankan prinsip transparansi, komunikasi yang jelas, dan pendidikan publik yang membangun kesadaran.
Hanni dalam artikelnya terdahulu dengan sangat baik menjelaskan bahwa pemerintah harus dapat berkomunikasi dengan bahasa rakyat, yaitu bahasa yang dapat dipahami oleh rakyatnya. Ia mencontohkan bagaimana Franklin D. Roosevelt, Presiden Amerika Serikat, mendapat dukungan rakyat ketika terjebak dalam depresi besar serta kepercayaan rakyat terhadap pemerintah nyaris habis. Kala itu pengangguran meroket, bank-bank bangkrut, dan harapan memudar.
Roosevelt menjelaskan kebijakan-kebijakan sulit dengan bahasa yang mudah dipahami, bukan dengan jargon birokratis, bukan juga dengan angka-angka kering, bukan juga dengan kata-kata yang menyakiti rakyatnya, tetapi dengan kalimat yang membuat rakyat merasa didengar dan diperjuangkan. Perlahan, kepercayaan terhadap pemerintah kembali tumbuh sehingga Amerika dapat bangkit. Demikian pula Kaisar Hirohito mengajak rakyatnya bangkit dari kekalahan akibat perang dan membangun bangsanya bahkan dengan bantuan bangsa yang menaklukkan mereka.
Dengan demikian, prinsipnya pemerintah perlu menjelaskan dengan hati-hati alasan di balik kebijakan atau tindakan yang diambil, serta menunjukkan bagaimana keputusan tersebut berpijak pada prinsip-prinsip yang lebih tinggi dan membawa manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Pemerintah dapat mengajak masyarakat berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dan memberi ruang bagi mereka untuk menyuarakan pendapat secara konstruktif yang dapat mempererat hubungan antara penguasa dan rakyat. Dengan cara ini, pemerintah dapat tetap memperoleh dukungan, meskipun keputusan yang diambil tidak selalu sesuai dengan pandangan mayoritas.
Pada akhirnya, keselarasan antara suara rakyat, suara Tuhan, dan keputusan pemerintah membutuhkan kesadaran kolektif dan proses reflektif yang melibatkan berbagai pihak terutama para ahli di bidangnya masing-masing. Keberhasilan suatu bangsa tidak hanya diukur dari seberapa besar suara mayoritas didengarkan, tetapi juga seberapa bijaksana suara yang ada dapat disaring, dipahami, dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kebaikan bersama.
Baca juga: Presiden kembali ingatkan menteri-menteri perbaiki komunikasi publik
Baca juga: Pentingnya strategi komunikasi efektif untuk bangun kepercayaan publik
*) Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc adalah Anggota Majelis Amanah DPP GEMA Mathla’ul Anwar
Copyright © ANTARA 2025
Komentar
Berita Terkait
UU TNI : Menata ulang hubungan sipil-militer
- 29 Maret 2025
Politik, urgensi RUU Penyiaran hingga CKG
- 27 Maret 2025
Rekomendasi lain
Simak lirik lagu “Maju Tak Gentar”
- 31 Juli 2024
Jumlah keuskupan di Indonesia dan nama-nama uskup
- 27 Agustus 2024
Ini rincian biaya transaksi di ATM Bersama dan ATM Link
- 8 November 2024
10 orang terkaya di Asia, salah satunya dari Indonesia!
- 15 Agustus 2024
Lirik lagu Lyodra – “Pesan Terakhir” karya Mario G Klau
- 13 September 2024
Doa setelah Adzan dan iqomah dalam Arab dan latin
- 17 Juli 2024