
Telaah
Harmoni spiritual dan ekonomi dalam perayaan Lebaran
- Oleh Dr Taufan Hunneman*)
- Minggu, 23 Maret 2025 08:08 WIB
- waktu baca 5 menit

Dari sisi pembangunan karakter, Ramadan dan Lebaran seharusnya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih sabar, ikhlas, empatik, jujur, dan produktif.
Jakarta (ANTARA) – Sebentar lagi, umat Islam di seluruh dunia akan menyambut hari raya Idulfitri, sebuah momen penuh sukacita yang menandai berakhirnya bulan Ramadan.
Bagi masyarakat Indonesia yang kaya akan keberagaman etnis, budaya, bahasa, dan keyakinan, Lebaran bukan sekadar perayaan spiritual umat Islam. Ia telah menjelma menjadi ruang kebersamaan nasional yang memancarkan nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, dan kesejahteraan sosial lintas iman.
Di berbagai sudut negeri, semua bisa menyaksikan betapa Ramadan dan Lebaran disambut bukan hanya oleh umat Islam, melainkan juga oleh warga dari agama-agama lain.
Setiap sore menjelang berbuka, suasana di jalan-jalan begitu hangat, kerap kali sekelompok warga, tanpa memandang agama, dengan penuh suka cita membagikan takjil kepada siapa saja yang lewat.
Di situlah keindahan Indonesia menemukan bentuknya, dalam tindakan sederhana namun bermakna, dalam keramahan yang lintas batas keyakinan.
Umat Nasrani, Hindu, dan Buddha turut hadir dalam semangat berbagi ini, memperkuat akar toleransi yang sudah mengakar dalam kultur bangsa.
Harmoni semacam itu juga tercermin dalam kehidupan keluarga Presiden Prabowo Subianto. Ayahnya, Prof. Sumitro Djojohadikusumo yang akrab disapa Pak Cum adalah seorang Muslim Jawa dari Banyumas. Ibunya berasal dari suku Minahasa dan menganut Kristen.
Menantu Pak Cum pun datang dari latar belakang keyakinan dan kebangsaan yang beragam, termasuk Katolik dan Prancis.
Perayaan Lebaran di tengah keluarga seperti ini bagaikan pelangi yang merangkul perbedaan, menandai bahwa Ramadan dan Idulfitri bukan sekadar ritual, melainkan juga perayaan keberagaman yang menyatukan.
Baca juga: Siasat pekerja atur pemanfaatan THR untuk penuhi kebutuhan
Aspek Spiritual
Secara spiritual, Lebaran menjadi puncak refleksi setelah sebulan penuh berpuasa. Tradisi mudik, misalnya, tidak hanya dimaknai sebagai perjalanan fisik pulang ke kampung halaman, tetapi juga simbol kembalinya seseorang pada nilai-nilai dasar kehidupan, kasih sayang, kerendahan hati, dan pengakuan terhadap relasi sosial.
Lebaran menjadi kenduri massal bangsa, saat budaya dan agama berpadu dalam semangat silaturahmi dan saling menguatkan.
Masyarakat dari berbagai latar belakang saling berkunjung, mengucapkan selamat, dan saling mendoakan.
Tak jarang, warga non-Muslim hadir menyampaikan salam dan membawa buah tangan sebagai bentuk penghormatan terhadap kerabat dan tetangga Muslim.
Sikap saling menghormati ini juga hadir dalam tradisi berbagi makanan khas saat Lebaran. Setiap keluarga menyiapkan ketupat, opor ayam, rendang, hingga kue-kue khas daerah dalam jumlah besar, bukan hanya untuk keluarga inti, tetapi juga untuk para tamu, tetangga, bahkan siapa pun yang datang bersilaturahmi, tanpa melihat latar belakang agama.
Ini adalah ekspresi spiritual yang konkret: berbagi tanpa syarat. Islam memang mengajarkan bahwa membantu sesama adalah kewajiban universal. Dalam konteks Lebaran, pesan ini kembali bergema.
Kebahagiaan menjadi milik bersama, dan kasih sayang tidak dibatasi oleh perbedaan keyakinan.
Dari sisi pembangunan karakter, Ramadan dan Lebaran seharusnya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih sabar, ikhlas, empatik, jujur, dan produktif.
Nilai-nilai ini idealnya tidak berhenti saat bulan Ramadan usai, tetapi berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Inilah momentum spiritual untuk perbaikan diri, dan jika dijalani dengan sungguh-sungguh, akan memberi dampak pada masyarakat yang lebih berintegritas dan berkeadilan.
Di luar aspek spiritual dan sosial, Ramadan dan Lebaran juga berdampak besar terhadap sektor ekonomi.
Perputaran uang meningkat signifikan. Tradisi mudik bukan hanya memperkuat ikatan keluarga, tetapi juga menghidupkan ekonomi daerah.
Pemudik membawa uangnya ke kampung halaman, membelanjakannya untuk kebutuhan pokok, oleh-oleh, transportasi, dan hiburan. Dampaknya langsung terasa di sektor pertanian, peternakan, perdagangan, jasa, dan pariwisata.
Baca juga: BI: Realisasi penukaran uang Lebaran Rp67,1 triliun hingga 17 Maret
Baca juga: BI antisipasi potensi likuiditas bank mengetat menjelang Lebaran
Berkah UMKM
UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, mendapatkan berkah luar biasa. Sejak awal Ramadan, festival-festival kuliner dan bazar takjil bermunculan di berbagai kota.
Warga berburu menu berbuka, bukan hanya umat Islam, tetapi juga masyarakat umum. Fenomena ini menciptakan lonjakan permintaan pada makanan dan minuman, serta produk-produk busana dan perlengkapan Lebaran.
Banyak pelaku usaha kecil yang menggantungkan harapan besar pada momentum ini untuk meningkatkan omzet tahunan mereka.
Peningkatan konsumsi yang signifikan juga terjadi menjelang dan selama Lebaran. Pembelian kebutuhan pokok, pakaian baru, parsel, hingga tiket transportasi melonjak drastis.
Perputaran ekonomi tidak hanya dinikmati oleh pelaku usaha di kota besar, tetapi juga oleh pedagang kecil di desa-desa, pengusaha angkutan, pengelola tempat wisata, hingga petani yang hasil panennya terserap oleh permintaan yang meningkat.
Pemerintah pun telah mengantisipasi dengan menyalurkan Tunjangan Hari Raya (THR) lebih awal untuk ASN dan pekerja swasta, serta memperpanjang libur cuti bersama agar masyarakat dapat merayakan Lebaran dengan tenang sekaligus mendorong konsumsi domestik.
Bank Indonesia pun tak tinggal diam. Setiap tahun menjelang Lebaran, BI menyiapkan pasokan uang tunai dalam jumlah besar untuk memastikan kebutuhan transaksi masyarakat terpenuhi.
Ini semua menunjukkan bahwa Ramadan dan Lebaran bukan hanya momen religius, tetapi juga menjadi pilar penting dalam dinamika ekonomi nasional.
Lebaran telah menjelma menjadi perayaan kebangsaan yang menyatukan. Ia bukan hanya milik umat Islam, tetapi telah menjadi milik semua anak bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Ia membawa berkah spiritual, sosial, dan ekonomi yang menyentuh setiap lapisan masyarakat.
Momentum ini mestinya menjadi inspirasi, bahwa dalam setiap perbedaan ada ruang untuk saling memahami, dalam setiap kebersamaan ada peluang untuk tumbuh, dan dalam setiap perayaan ada harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi seluruh bangsa.
Baca juga: Wamen Ekraf: Sektor pariwisata diharapkan dukung UMKM saat lebaran
Baca juga: Sleman gelar Pasar Lebaran bantu pemasaran produk UMKM
*) Penulis adalah Dosen UCIC, Cirebon.
Copyright © ANTARA 2025
Komentar
Berita Terkait
Mengurangi pangan yang mubazir pada hari raya
- 11 April 2024
Lebaran, pangan, dan keterbukaan
- 11 April 2024
WNI di Slowakia Rayakan Hari Raya Idulfitri
- 11 Juni 2019
Rekomendasi lain
Cara mudah login WhatsApp Web
- 3 Juli 2024
Formasi CPNS Kementerian ATR/BPN 2024
- 23 Agustus 2024
Hukum dan ketentuan berpuasa pada hari Jumat
- 29 Agustus 2024
Cara cek bansos pakai KTP, bisa online via ponsel
- 24 Juli 2024
Cara cek pengumuman hasil kelulusan PPPK 2024
- 25 Desember 2024
Lirik lagu Lyodra – “Pesan Terakhir” karya Mario G Klau
- 13 September 2024